Wednesday 10 May 2017

Buah Busuk dan Setetes Air.


Apa kabar hari ini?
Lihat tanda tanya itu..
jurang antara kebodohan dan
keinginanku untuk memilikimu
sekali lagi....

Tepuk tangan dulu sambil berdiri untuk saya, yang barusan saja copy paste puisi nya Rangga di AADC2.

Sudah lama sekali saya tidak menulis di blog yang mengubah jaman ini. Sayup-sayup dari belakang itu  terdengar kalian menjerit-jerit pada kangen sama saya. Aaaaw.........saya tidak. Tidak sama sekali.Titik.

Okay, kita sudahi sesi seriusnya.

Saya mau bertanya (bukan kepada Bapak Presiden sih), apa pendapat kalian tentang bangsa ini? Bangsa yang dilahirkan dengan air mata, keringat, dan darah. Bangsa yang hebat karena bisa mempersatukan dari ujung timur sampai ujung barat berisi 17 ribuan pulau, suku, ras, dan yang paling hebat menyatukannya menjadi 1 bahasa (bukan 1 agama).  Bangsa besar yang begitu lama merindukan kemerdekaan dan akhirnya mendapatkannya.

Saya pribadi merasa malu, tidak ada yang salah dari perjuangan founding fathers kita. Ideologi Pancasila yang dalam hati saya menangis kagum kalau direnungkan dan membayangkan saat itu mereka bisa terpikir sedahsyat itu. Tapi saya melihat pemegang tongkat estafet setelahnya yang nampaknya terlalu enak ber-orgasme harta dan tahta puluhan tahun hingga lupa akan hal-hal fundamental untuk bekal generasi penerusnya, sehingga terlahirlah buah besar yang busuk ini.

Setelah merenung malam-malam di teras rumah sambil dongak menatap bulan ditemani kopi papua dalam gelas bertuliskan "Enjat & Rumiyem Wedding, 9 Oktober 2003"  akhirnya saya mendapatkan 2 akar permasalahan dari buah besar busuk ini.

Pertama adalah pendidikan.
Terlalu lama point penting ini tidak dianggap penting oleh rezim yang orgasme melulu itu. Bayangkan jika 30-40 tahun kebelakang pendidikan diprioritaskan, pastilah melahirkan generasi baru yang berkualitas. Coba ya dari hal paling mudah ditemui, setiap pagi saya cuma antar anak sekolah dan istri ke kantor dengan waktu menyetir kurang lebih 20 menit saja cukup untuk bikin tensi darah saya 400. Mulai dari yang alergi helm, alergi lampu merah, lawan arah, boncengan bertiga tanpa helm mulut mangap, yang berhenti angkut penumpang di tengah jalan, dan banyak lainnya. Mereka hanya produk, hanya buah busuk dari petani yang salah metode tanam. Kesalahan terbesar menurut saya tetap saja para pemimpin terdahulu yang orgasme melulu itu. Seharusnya semakin berpendidikan, semakin dapat memahami cara hidup berdampingan dengan manusia lain. Otak yang hampa pengetahuan akan bertindak seperti reptil, tidak mengenal batasan-batasan, beraksi berdasarkan hanya naluri. Pendidikan mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan (Tan Malaka). Pendidikan yang lembek menghasilkan kebodohan dan kemalasan. Kebodohan dan kemalasan lah duet maut penyumbang masalah di negeri ini.

Akibat kebodohan, bangsa ini mudah dipecah belah. Akibat kebodohan, banyak yang terjangkit virus galau ideologi bangsa. Dari kecil bukannya baca buku, malah makan micin, pas dewasa yang lihai adalah mulutnya. Orang bodoh berisik mulut, orang pandai berisik karya.

Akibat kemalasan, bangsa ini diperkosa penguasanya sendiri. Akibat kemalasan, pemerkosa bangsa ini enggan bekerja dengan proses untuk mendapatkan uang. Lahirlah cara instan, korupsi. Dari coba-coba timbul perasaan enak, 1-2x enak tentu ketagihan, perkosa terus - orgasme lagi, perkosa terus - orgasme lagi, dan menyemburlah uang dari mulutnya, dari matanya, dari telinganya, dari lubang pantatnya yang sudah mekar itu karena uang mengalir deras, hari ini berak uang, besok harus berak uang, ada yang melapor berakin pakai uang lalu si pelapor bungkam karena diam-diam dia sudah kena enaknya berak uang.

Kedua adalah hukum.
Setali tiga uang dengan pendidikan, hukum yang lembek melahirkan generasi yang tempe bongkrek. Semua perilaku reptil kita ini akibat hukum yang impoten. Hukum kita jangan diagung-agungkan.Pejabat, petinggi, pemimpin berkoar-koar tidak akan intervensi hukum. 1 kata buat mereka: B E R A K.

Jika melihat kebelakang, masa-masa setelah kemerdekaan memang segala sesuatunya masih sangat labil, ekonomi porak poranda, butuh waktu untuk menemukan kestabilan sebuah negara dan itu bukan tugas mudah. Setelah mulai stabil, merasakan nikmatnya kebebasan merdeka yang kebablasan ditambah rezim penguasa (yang orgasme mulu itu) memberi contoh dan didikan bahwa hukum bisa dibejek-bejek sesuka hati selama puluhan tahun, lahirlah generasi monyet gurun. Hukum itu buat saya ibarat pecut kuda. Dia berguna saat kita sudah mulai berjalan tidak lurus, pecut, dan kita kembali on track.

Darah "apa saja boleh" sudah menyatu di dalam pembuluh darah kita dan menyebar sampai ke semua organ tubuh. Bangun rumah diatas bantaran sungai, boleh. Ada tanah kosong pinggir jalan mau bangun tempat neduh, lama-lama jadi gubuk kecil, lama-lama jadi rumah 2 lantai, boleh. Ada acara rame-rame sampai nutup jalan, boleh. Ini bukan persoalan kemanusiaan, ini masalah pelanggaran hukum kok ya dibela. Kalau digusur demi kepentingan umum (mengurangi banjir dll) kok ya ribut? Tipe yang meributkan ini pasti kalau jadi petinju, hobi nya ninju titit lawan dan protes saat lawan memukul dengan uppercut ke dagunya. Hobinya melanggar aturan pertandingan. Ini baru level yang dangkal, bayangkan efeknya jika "apa saja boleh" ini sudah menyangkut kepentingan yang lebih besar. Ya sekarang kita sedang merasakan salah satu produknya, timbulnya ormas-ormas berkedok surgawi berperilaku neraka, premanisme menguasai pos-pos penting penghasil uang.

Lalu, bagaimana bangsa ini bisa menjadi lebih baik?
Jangka panjang pendidikan harus dibenahi. Bukan cuma soal isi nya, tapi juga perangkatnya, pendukungnya, kesejahteraan guru-gurunya. Ini memakan waktu, tapi hasilnya bisa dijamin. Saya belum menemukan negara yang sangat maju, tapi sistem pendidikannya purba. Sambil dibenahi, generasi buah busuk ini harus habis dulu tergerus jaman. Mungkin 50 tahun lagi (jika tegas) bangsa ini bisa punya generasi berbibit unggul yang berani bersaing dengan negara adikuasa sekalipun.

Jangka pendek hukum harus berjalan tegas. Bacalah cerita Singapura, mereka tidak sekonyong-konyong lahir sudah teratur dan tertib, lewat gaya tangan besi pemimpinnyalah akhirnya mereka bisa menjadi bangsa yang maju di semua bidang serta berbudaya luar biasa. Itu baru Singapura, jangan bicara Jepang. Saya yakin orang Jepang itu alien, karena sangat berbeda peradabannya.

Saya cuma berimajinasi saja, kita sedang menunggangi kuda. Pendidikan sebagai makanannya, hukum sebagai pecutnya. Jika dua-duanya bagus, masa iya kuda kita berjalan zig-zag mangap sambil berak dimana-mana?

Sebagai orang Indonesia, saya tidak mau melecehkan pendiri bangsa ini. Letih itu pasti, tapi kehilangan harapan sama saja saya ikut memperkosa perjuangan luhur pendiri Indonesia. Saya simpan setetes harapan di hati saya, yang saya ibaratkan seperti air. Air yang menandakan awal kehidupan, air yang tidak ngotot ketika bertabrakan dengan batu di sungai tapi dengan lentur melewatinya, air yang setetes demi setetes dapat melubangi batu yang kokoh, air yang segera mengisi ruang-ruang kosongnya. Jika menunggu generasi buah busuk ini habis, mungkin kita juga sudah habis. Tapi karena kita hidup sudah terlanjur hidup, hanya diam dan menunggu mati nampaknya terlalu picisan. Apa maknanya umur yang diberikan jika kita tidak meninggalkan karya dan teladan bagi manusia lain? Konsep bahwa hidup ini harus mengejar kebahagiaan sudah konsep usang, semakin kita mencari kebahagiaan, semakin jauh pula kebahagiaan itu. Tetapi dampak yang kita berikan melalui karyalah yang akan terus mengalirkan air-air harapan yang sejuk mengalir dari gunung sampai ke laut lepas, memberikan kesejukan dan kesuburan bagi alam disekitarnya dan menghasilkan buah-buah baru yang ranum.

Tunggu apalagi?
AYO  BERGERAK.



Putra Petir